Cinta Sufi

0

Cinta menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin.

Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi menurut Ibn Qayyim, cinta dapat dirumuskan dengan memperhatikan turunan kata cinta, mahabbah, dalam bahasa Arab. Mahabbah berasal dari kata hubb.

Ada lima makna untuk akar kata hubb.

Pertama, al-shafâ wa al-bayâdh, putih bersih. Bagian gigi yang putih bersih disebut habab al-asnân.

Kedua, al-‘uluww wa al-zhuhûr, tinggi dan tampak. Bagian tertinggi dari air hujan yang deras disebut habab al-mâi. Puncak gelas atau cawan disebut habab juga.

Ketiga, al-luzûm wa al-tsubût, terus menerus dan menetap. Unta yang menelungkup dan tidak bangkit-bangkit dikatakan habb al-ba’îr.

Keempat, lubb, inti atau saripati sesuatu. Biji disebut habbah karena itulah benih, asal, dan inti tanaman. Jantung hati, kekasih, orang yang tercinta disebut habbat al-qalb.

Kelima, al-hifzh wal-imsâk, menjaga dan menahan. Wadah untuk menyimpan dan menahan air agar tidak tumpah disebut hibb al-mâi.

Marilah kita ukur kecintaan kita kepada Rasulullah saw dengan lima hal di atas.

Pertama, cinta ditandai dengan ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan. Anda tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai. Jika Anda mencintai Rasulullah saw, Anda akan tetap setia kepadanya. Anda tidak akan mencampurkan kecintaan Anda kepadanya dengan motif-motif duniawi. Anda akan memberikan seluruh komitmen Anda.

Rasulullah saw pernah menguji kecintaan sahabat sebelum perang Badar. Kepada para sahabat dihadapkan dua pilihan: Menyerang kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy. Kebanyakan sahabat menghendaki kafilah dagang karena menyerang mereka lebih mudah dan lebih menguntungkan. Nabi saw menghendaki musuh yang akan menyerang Madinah dan berada pada jarak perjalanan tiga hari dari Madinah.

Allah Swt berfirman, “Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu dari kedua kelompok, yang satu untuk kamu, tetapi kamu menginginkan yang tidak mempunyai senjata untuk kamu. Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan kalimat-Nya dan menghancurkan pusat kekuatan orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfal : 7).

Rasulullah Saw bersabda: “Tuhan menjanjikan kepada kalian dua pilihan –menyerang kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy” Abubakar berdiri, “Ya Rasulallah, itu pasukan Quraisy dengan bala tentaranya. Mereka tidak beriman setelah kafir dan tidak akan merendah setelah perkasa.” Beliau menyuruh Abu Bakar duduk, seraya berkata, “Kemukakan pendapatmu kepadaku.” Umar berdiri dan mengucapkan pendapat sama seperti pendapat Abu Bakar. Rasulullah saw pun menyuruhnya duduk kembali.

Kemudian Miqdad berdiri, “Ya Rasul Allah, memang itulah Quraisy dan bala tentaranya. Kami sudah beriman kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika engkau memerintahkan kami agar kami menerjang pohon yang keras dan duri yang tajam, kami akan bergabung bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti Bani Israil kepada Musa –Pergilah kamu bersama Tuhanmu, beperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini saja. Tetapi kami akan berkata: Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah dan kami akan berperang bersamamu.”

Wajah Nabi saw bersinar gembira. Beliau mendoakan Miqdad. Beliau juga meminta pendapat Anshar, kelompok mayoritas yang hadir di situ. Berdirilah Sa’ad bin Mu’adz: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasul Allah, sungguh kami sudah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari Allah. Perintahkan kepada kami apa yang engkau kehendaki... Demi Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, kami akan terjun ke dalamnya bersamamu. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu yang menentramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami dalam keberkahan dari Allah.” Berangkatlah Rasulullah saw bersama sahabatnya meninggalkan kota Madinah untuk menyongsong musuh yang bersenjata lengkap. Pada waktu itulah turun ayat, “Sebagaimana Tuhanmu mengeluarkan kamu dari rumahmu dengan kebenaran, walaupun sebagian dari kaum mukminin membencinya.” (QS. Al-Anfal: 5).

Sikap Miqdad dan Mu’adz menunjukkan cinta setia mereka kepada Rasulullah saw. Mereka segera menangkap kehendak kekasihnya –Rasulullah saw- dan mereka mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi saw yang dicintainya. Di dalamnya juga ada tanda kedua dari cinta, yakni pengutamaan kehendak Rasulullah saw di atas kehendak dan keinginan mereka.

Abdullah bin Hisyam bercerita, “Kami sedang bersama Nabi saw. Ia memegang tangan Umar bin Khaththab.

Umar berkata:" Ya Rasul Allah, engkau lebih aku cintai dari apa pun kecuali dari diriku sendiri".

Nabi saw berkata:" Tidak. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, belum sempurna iman kamu sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri".

Umar berkata lagi: "Sekarang memang begitu demi Allah. Sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri".

Nabi saw bersabda: "Sekaranglah, hai Umar.”

Taktala Imam Ali bin Abi Thalib kw ditanya:" Bagaimana kecintaan kalian kepada Rasulullah saw?

Ia menjawab: "Demi Allah, ia lebih kami cintai dari harta kami, anak-anak kami, orang tua kami dan bahkan lebih kami cintai daripada air sejuk bagi orang yang kehausan".

Kebenaran ucapan Imam Ali itu dibuktikan dalam peristiwa Uhud. Kepada seorang sahabat perempuan Anshar diperlihatkan anggota keluarganya yang syahid di situ –ayahnya, saudaranya, dan suaminya.

Ia bertanya: “Bagaimana keadaan Rasulullah saw?”

Orang-orang menjawab: “Ia baik-baik saja, seperti yang engkau sukai.”

Ia berkata lagi: “Tunjukkan beliau kepadaku supaya aku pandangi beliau.” Ketika ia melihatnya, ia berkata: “Sesudah berjumpa denganmu, ya Rasul Allah, semua musibat kecil saja!”

Atau ketika Zaid bin Al-Datsanah ditangkap oleh kaum musyrikin. Sambil tidak henti-hentinya menerima penganiayaan dan siksaan, ia diseret dari Masjidil Haram ke padang pasir untuk dibunuh. Abu Sofyan berkata kepadanya: “Hai Zaid, maukah Muhammad kami ambil dan kami pukul kuduknya, sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?” Zaid melonjak, seakan-akan seluruh kekuatannya pulih kembali. Ia membentak: “Tidak, demi Allah. Aku tidak suka duduk bersama keluargaku sementara sebuah duri menusuk Muhammad.” Kata Abu Sufyan: “Aku belum pernah melihat manusia mencintai seseorang seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”

"Ya Rasulullah, kelak jemputlah siapa saja dari ummatmu yang mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari cintanya pada apapun juga termasuk keluarganya dan dirinya sendiri, jemputlah ia yang setia kepadamu, menjalankan sunnah yang engkau tegakkan dan yang senantiasa menggumamkan namamu dengan ber-shalawat kepadamu"


Artikel atau posting terbaru blog ini selanjutnya dapat disimak di website kami Mistikus Cinta. Selamat berkunjung dan terima kasih atas perhatiannya.

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Cinta Sufi dengan menjadi Kontributor


Post a Comment

 
Top